Dengan
kereta malam ku pulang sendiri
Mengikuti
rasa rindu
Pada
kampung halamanku
Pada
ayah yang menunggu
Pada
ibu yang mengasihiku
Duduk
dihadapanku, seorang ibu
Dengan
wajah sendu, sendu kelabu
Penuh
rasa haru dia menatapku 2x
Seakan
ingin memeluk diriku..
Dia
lalu bercerita tentang, anak gadisnya yang t’lah tiada
Karena
sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku..
yang
wajahnya, mirip, denganku..
Kira-kira begitulah lirik lagu dari band Sarasvati,
Band yang digawangi oleh Risa Saraswati. Bagi penggemar acara “Mister Tukul
Jalan-Jalan” pasti kalian familiar
dengan nama ini. Selain sebagai vokalis band Sarasvati ia juga merupakan
seorang penulis. Sudah ada beberapa buku yang telah ia terbitkan. Aku sendiri
bahkan mengenal Risa Saraswati sebagai seorang penulis yang mempunyai indra
ke-6. Ia menuangkan kisah-kisah hidup dari jin-jin yang menyerupai arwah
orang-orang yang mendatangi Risa. Ia juga membuat beberapa lagu yang ia
persembahkan untuk teman-teman gaibnya itu. Nah, lagu ini salah satu lagu yang
berada didalam Album “Story Of Petter”. Jika aku tidak salah, lagu ini adalah
lagu yang di-bawakan ulang oleh Sarasvati.
Kali ini aku ingin sedikit membahas pengalamanku
yang mirip dengan lagu ini.
Saat itu, tepatnya awal bulan November 2014. Saudara
sepupuku wisuda, ia sama denganku. Kami sama-sama kuliah di Jogja. Dengan
begitu, orangtua dan saudaranya datang kesini. Tidak ketinggalan juga kakakku.
Mereka datang ke Jogja untuk menghadiri wisuda sepupuku itu.
Sehari setelah wisuda tentu saja agenda selanjutnya adalah
jalan-jalan. Hari itu, tanggal 2 November, agenda kami adalah menelusuri situs
budaya yakni Candi Borobudur dan selanjutnya menuju Candi Prambanan. Bisa kau
bayangkan bagaimana lelahnya perjalanan kami, dari Jogja Kota menuju Borobudur
yang berada di Magelang. Perjalanan menuju Magelang, tepatnya lokasi Candi
Borobudur adalah sekitar 1 jam perjalanan. Baiklah, kali ini aku sudah terlalu
bertele-tele.
Perjalanan kami menuju Candi Borobudur-pun akhirnya
dimulai. Oh ya, aku lupa memberitahu kalian. Selma yang saat itu baru saja
kembali karena menginap di kos sepupunya aku paksa ikut dan akhirnya ikut
dengan rombongan keluargaku menuju Magelang. Jadi, jangan bayangkan Selma ikut
dengan rombongan kami dengan dandanan dan pakaian yang necis. Ia yang bahkan
saat itu belum sempat mandi, saat sampau di Borobudur langsung menarikku kekamar
mandi untuk sekedar mencuci muka dan berdandan ala kadarnya. Untung saja saat
itu aku juga membawa parfum. Jadi, setidaknya ia bisa meng-kamuflase bau badannya yang belum mandi kala itu.
Kami berdua menyegerakan diri untuk keluar dari
kamar mandi seiring dengan dering Hpku yang terus berbunyi karena ditelpon oleh
keluargaku yang sudah menunggu dan bersiap-siap masuk ke pelataran candi.
Setelah mengurus segala tetek bengek yang harus diurus untuk masuk ke Candi
rombonganku-pun masuk.
Saat itu, kami semua menyewa payung, satu payung
untuk dua orang. Yah, perjalanan dari loket masuk ke Candi bisa terbilang lumayan
jauh. Aku yang bahkan saat itu bersikeras untuk tidak menyewa payung akhirnya
luluh juga oleh teriknya matahari di Borobudur. Perjalananpun berlanjut.
“Mbak, dari mana?” Tiba-tiba seorang ibu menyapaku
dan Selma yang tengah berpose dibawah tangga menuju candi.
“Kalau aku Asli Lombok bu’, nah temenku ini dari
Kudus.” Jawabku berusaha sopan.
“Oh, Jauh juga ya. Mbak kuliah di Jogja?” Tanyanya
kembali.
“Iya bu, aku sama temenku ini kuliah di Jogja.”
“Dimana?”
“Universitas Mercu Buana bu. Oh iya, ibu ini dari
mana?”
“Dari Solo mbak. Mbak-mbak kalau main ke Solo jangan
lupa mampir ke rumah ibu ya.” Jawab ibu itu ramah.
“Le, ayo cepet. Kita ditinggal nih.” Selma tiba-tiba
menarik lenganku.
“Iya, iya. Bu’ kita duluan ya?” Ujarku pada ibu itu.
Ibu itu yang saat itu bahkan aku tidak tau namanya terlihat tidak rela
ditinggal oleh kami berdua. Ia bahkan seperti berusaha mengejar kami.
“Mbak, anak saya ada yang seumuran mbak, cewek.”
Ujar ibu itu lirih. Aku melihat anak lelakinya yang kala itu tengah berada
disebelahnya.
“Oh, ini berarti adek punya kakak ya? Kelas berapa
adek?” Obrolan kami berlanjut karena ibu itu mengejar kami.
“Ini masih SD mbak, kalau kakaknya ya seumuran mbak.”
Jawabnya tergopoh-gopoh mengikuti gerakan kakiku yang agak cepat.
“Oh, emang anak ibu itu kuliah dimana?” Aku kembali
bertanya.
“Anak saya sudah dipanggil Allah.” Ibu itu
tersenyum, tetapi masih tampak kesedihan tersirat dari senyum yang ia berikan
padaku saat itu. Aku hanya terdiam. Aku bingung kala itu harus berbicara apa
padanya.
“Aduh, maaf Bu. Maaf, aku ‘gak tau.” Ujarku ketika
tersadar. Ia hanya tersenyum.
“Ayo Le, cepetan. Kita udah ditinggal. Ayo lari.”
Selma menarik lenganku dan mengajakku berlari meninggalkan ibu itu menuju
Candi.
Setelah itu kamipun berpisah dari ibu itu. Hingga akhirnya,
ketika didalam candi aku kembali bertemu dengan ibu itu. Ibu itu ternyata juga
sadar akan kehadiran kami. Ia yang tengah bersama rombongannya melihat aku dan
Selma naik menuju puncak Candi terlihat kembali mengejar kami.
“Ayo cepet, kita naik keatas.” Ku dengar ibu itu
berkata pada anaknya.
Entah mengapa, aku saat itu ketakutan karena ibu itu
terus mengejarku dan Selma.
“Eh Sel, kita lari aja yuk. Siapa tau nih sampai
atas bisa kurus.” Ujarku tertawa sambil berlari keatas disusul Selma.
“Lale, udah deh. Capek tau’.”
“Ya udah, istirahat sini nih.” Kami berdua kemudian
beristirahat dan berkeliling sejenak di puncak Candi Borobudur. Setelah puas,
aku dan Selma kemudian turun dan bertemu kakakku serta sepupuku yang tengah
berpose dibawah. Sejenak aku dan Selma mengikuti mereka berphoto-photo,
kemudian turun. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Candi Prambanan.
Aku-pun melupakan kejadian mengenai ibu itu.
Namun, entah mengapa, malam ini. Setelah mendengar
lagu dari Sarasvati yang berjudul “perjalanan” aku kembali teringat akan ibu
itu, yang bahkan aku tidak tahu namanya. Ia mungkin saat itu melihatku dan
Selma yang mengingatkannya akan anaknya yang telah meninggal. Ia mungkin
berusaha untuk mengobati kerinduannya kepada sang anak dengan mengobrol
bersamaku. Tetapi, aku yang sudah ketakutan duluan malah menghindarinya.
Jujur saja, ketika mendengar lagu ini, aku merasa
bersalah kepada ibu itu. Mengapa aku harus menghindar? Padahal ia tidak sama
sekali melakukan kejahatan padaku. Ia hanya ingin mengobati rasa rindunya pada
sang anak yang telah lama tiada.
Siapapun kamu, anak dari ibu itu yang aku tak kenal
namanya, yang telah lebih dulu menghadap Allah. Semoga kamu senantiasa diampuni
dosa dan diterima amal ibadahmu. Semoga ibumu selalu diberi ketegaran hati
dengan kasih sayangnya yang seluas samudera.
Hal ini juga mengingatkanku kepada Mamakku dirumah.
Hal ini mengajarkanku, bahkan ketika sang anak telah tiada. Kasih ibu akan
selalu ada dan tidak akan hilang tergerus oleh tanah yang menguburkan anaknya.
Kasih ibu, kasih ayah, kasih orangtua. Akan senantiasa mengiringi perjalanan
sang anak entah itu dalam keadaan hidup ataupun mati.
Kasih
ibu, kepada beta..
Tak
terhingga sepanjang masa,
Hanya
memberi, tak harap kembali
Bagai
sang surya menyinari dunia
Kepada
Mamak dan Mamik, cinta dan sayangku kepada kalian tidak akan pernah hilang.
Tidak akan pernah berkurang sedikitpun layaknya cinta kalian kepada aku dan
mbok kiki.
Kepada
kakakku, Mbok Kiki. Walaupun aku tak pernah mengungkapkannya, percayalah.
Adikmu ini, selalu mencintai dan menyayangimu. Walaupun kita jarang akur disaat
bersama, tapi percayalah itu karena aku sangat rindu padamu ketika kita jauh.
Teruntuk
keluargaku, aku menyayangi kalian selamanya.