Kawan-kawan, kali ini aku
akan bercerita kembali mengenai kosku. Ya, sekedar info, untuk teman-teman,
sebelumnya aku pernah menulis tentang kejadian mistik di kos lamaku. Kali ini,
aku akan bercerita tentang teror yang kembali menghantui kos baruku ini.
Kuliah dari senin hingga
jumat cukup menyita waktuku, terlebih tugas yang kian menumpuk serasa memanggil
untuk dikerjakan. Tetapi, insomnia selama ini menderaku anehnya hilang begitu
saja selama minggu itu. Hal ini cukup membantuku untuk bangun pagi, terlebih
sekarang kosku lebih jauh dari kos yang lama. Apabila dari kos lama menuju
kampus bisa menempuh waktu kurang lebih 5 menit jika ditempuh dengan jalan kaki,
kosku yang sekarang dapat memakan waktu, kurang lebih 17 menit menuju kampus.
Malam itu, mataku terasa
sangat berat hingga aku tertidur dengan lelap. Esoknya seperti biasa ku lakukan
aktifitas hari seninku, berangkat kuliah kemudian kembali ke kos. Saat sampai
dikos seperti biasa aku langsung masuk menuju kamarku yang nyaman dan berganti
pakaian yang sudah bau keringat.
“Rizka.” Yoka
menyembulkan kepalanya dari jendela kamarku.
“Ampun deh. Kamu ngagetin
mulu.” Ujarku sembari memencet remot tv. Yoka langsung masuk kekamar melalui
pintu yang berada disebelah jendela.
“Status apaan? Aku kudet
coy. Lagi gak ada paketan nih.” Jawabku sekenanya.
“Kan tau sendiri, tadi
dikampus aku nyari wifi-an.” Aku dan Yoka memang teman sekos, sekampus, bahkan
sekelas (kebayang ya, bosennya liat muka dia mulu. Hahaha.)
“Eh iya, lupa kamu fakir
wifi. Keliatan sih, muka jomblo. Hahaha.” Tawa Yoka membahana dikamarku.
“Etdah, nih bocah.
Cepetan kasitau status mbak Ninit apaan?” Selaku.
“Jadi gini, aku bacanya
sih tadi pagi. Tapi mbak Ninit update sekitar jam 3 pagi. Katanya ada suara
cewek nangis didepan kamarnya.” Ujar Yoka dengan raut muka serius.
“Suara tv kali. Apa suara
tvku nyampe sana ya? Aku kan sering gak matiin tv kalau bobo cantik.” Jawabku.
“Iya juga, siapa tau
Rahma lagi galau, terus nangis tengah malam.” Ujar Yoka yang berusaha membuat
opini yang dapat kami agar tidak ketakutan.
Posisi kamar mbak Ninit memang
tepat berada dipojokan sebelah timur dan berhadapan langsung dengan kamar mandi.
Ya, memang menurutku lokasi itu termasuk lokasi yang orang Jawa bilang, ‘singup’.
Kamar mandi yang berhadapan tepat dengan kamar mbak Ninit, juga jarang sekali
digunakan oleh penghuni kos. Disebelah kamar mandi juga terdapat gudang yang
didalamnya juga ada kamar mandi. Tetapi, entah kenapa teman-teman satu kos
seperti sudah sepakat untuk tidak menggunakan kamar mandi itu.
“Kenapa sih, kalian gak
mau make’ kamar mandi yang dipojok sana?” Tanyaku suatu hari pada penghuni
kamar mbak Ninit sebelumnya (yang ini orang ya, bukan setan.).
“Ogah ah. Kamar mandinya ‘singup’
gitu og Riz. Aku dulu pas masih disana sesekali make tapi cuma buat nyuci
piring doing.” Jawab mbak Riri yang sekarang kamarnya sudah berada tepat
disebelah kamarku.
Sore itu, kebetulan kami
memiliki kesempatan untuk berkumpul sesama penghuni kos. Bisa teman-teman bayangkan
sendiri bagaimana ramainya anak muda apabila sedang kumpul-kumpul ditambah kami
adalah wanita-wanita yang lumayan heboh, maklum anak abege. Entah bagaimana
ceritanya setelah ngalor ngidul bercerita kami kembali membahas tentang suara
tangis itu.
“Mbak ninit, itu beneran
suara nangis didepan kamarmu?” Tanya mbak Ayu.
“Iya. Beneran deh aku
denger. Ngeri sendiri rasanya. Mana aku sendiri waktu itu.” Ujar mbak Ninit
dengan ketakutan.
“Iiih aku aja merinding
mbak baca statusmu itu.” Mbak Ayu yang memang penakut langsung berubah ekspresi
yang tadinya ceria menjadi muka penuh ketakutan.
“Positif thinking aja
mbak. Kali, suara tv-ku kedengeran ampe kamarmu?” Ujarku berusaha menenangkan
mereka semua. Semua terdiam.
“Eh aku ingat deh. Dulu
waktu baru pindah kesini kan ya, aku ke kampus bertiga sama Desa sama Yoka.
Nah, waktu itu aku ditinggal Yoka sama Desa balik kos. Terus udah agak lama
gitu tiba-tiba mereka muncul lagi sambil ketakutan. Masa katanya Desa dengar
suara Yoka manggil, tapi suaranya lembut gitu, kaya ada manis-manisnya.”
Lanjutku berusaha mencandai mereka.
“Iya mbak, masa Desa
denger suaraku. Padahal aku waktu itu tidur. Aku aja gak sama sekali kok
manggil dia.” Jelas Yoka.
“Kalau suara sih, mungkin
ya. Ini mungkin loh, suara jin. Soalnya kalau di Lombok, abis magrib pamali
manggil nama, katanya Jin suka ngikutin. Tapi, kita bisa bedain kok suara
panggilan manusia beneran sama gak. Kalau suara jin itu lembuut banget. Pokoknya
beda.” Ucapku sembari menirukan gaya panggilan manusia biasa dan jin. Kamipun melanjutkan
cerita hingga akhirnya bubar.
Suatu malam, aku yang
saat itu tertidur lebih cepat dari biasanya tiba-tiba terbangun. Dari arah luar
kamarku aku tiba-tiba mendengar suara seseorang sayup-sayup menangis. Aku yang
masih setengah sadar berusaha memaksa diriku untuk sepenuhnya tersadar dan
berusaha mendengar suara itu dengan jelas.
Lirih ku dengar suara
tangis itu seperti suara tangis seorang lelaki dan disela tangisnya terdengar
istighfar.
‘Ini setan apa gimana? Masa
setan istighfar?’ batinku.
‘Ya Allah, jangan-jangan
ini orang gila.” Aku menerka-nerka didalam hati. Seketika ketakutan
menyergapiku, terlebih aku lupa mengunci kamarku sebelum tidur dan aku dalam keadaan
sedang kedatangan tamu. Namun, tiba-tiba dari tvku aku mendengar seorang wanita
ber-Hamdalah. Untuk sementara aku berpikir suara tadi berasal dari tvku yang
memang seringkali lupa aku matikan. Tapi, jelas-jelas aku mendengar suara itu
dari luar kamarku yang berada di Utara, sedangkan tvku posisinya berada di
Selatan. Keesokan harinya aku menceritakan kejadian ini kepada Desa. Desa juga
mengaku mendengar suara tangis saat subuh dihari yang sama, namun yang ia
dengar adalah suara tangis perempuan.
Hingga saat ini, misteri
ini belum terpecahkan. Tetapi, seseorang pernah mengatakan bahwa ada mis Kuntil
yang tinggal dipojokan dekat kamar mbak Ninit. Entahlah, aku tidak ingin
berasumsi yang aneh-aneh untuk membuat orang-orang takut.
Betewe, makasi ya udah
nyempetin diri baca tulisanku ini. Ditunggu salam tempelnya, ehh komen
maksudnya :D
No comments:
Post a Comment