Sunday, December 7, 2014

Sepenggal Memori di Borobudur



Dengan kereta malam ku pulang sendiri

Mengikuti rasa rindu

Pada kampung halamanku

Pada ayah yang menunggu

Pada ibu yang mengasihiku

Duduk dihadapanku, seorang ibu

Dengan wajah sendu, sendu kelabu

Penuh rasa haru dia menatapku 2x

Seakan ingin memeluk diriku..

Dia lalu bercerita tentang, anak gadisnya yang t’lah tiada

Karena sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku..

yang wajahnya, mirip, denganku..

Kira-kira begitulah lirik lagu dari band Sarasvati, Band yang digawangi oleh Risa Saraswati. Bagi penggemar acara “Mister Tukul Jalan-Jalan” pasti kalian familiar dengan nama ini. Selain sebagai vokalis band Sarasvati ia juga merupakan seorang penulis. Sudah ada beberapa buku yang telah ia terbitkan. Aku sendiri bahkan mengenal Risa Saraswati sebagai seorang penulis yang mempunyai indra ke-6. Ia menuangkan kisah-kisah hidup dari jin-jin yang menyerupai arwah orang-orang yang mendatangi Risa. Ia juga membuat beberapa lagu yang ia persembahkan untuk teman-teman gaibnya itu. Nah, lagu ini salah satu lagu yang berada didalam Album “Story Of Petter”. Jika aku tidak salah, lagu ini adalah lagu yang di-bawakan ulang oleh Sarasvati.

Kali ini aku ingin sedikit membahas pengalamanku yang mirip dengan lagu ini.

Saat itu, tepatnya awal bulan November 2014. Saudara sepupuku wisuda, ia sama denganku. Kami sama-sama kuliah di Jogja. Dengan begitu, orangtua dan saudaranya datang kesini. Tidak ketinggalan juga kakakku. Mereka datang ke Jogja untuk menghadiri wisuda sepupuku itu.

Sehari setelah wisuda tentu saja agenda selanjutnya adalah jalan-jalan. Hari itu, tanggal 2 November, agenda kami adalah menelusuri situs budaya yakni Candi Borobudur dan selanjutnya menuju Candi Prambanan. Bisa kau bayangkan bagaimana lelahnya perjalanan kami, dari Jogja Kota menuju Borobudur yang berada di Magelang. Perjalanan menuju Magelang, tepatnya lokasi Candi Borobudur adalah sekitar 1 jam perjalanan. Baiklah, kali ini aku sudah terlalu bertele-tele.

Perjalanan kami menuju Candi Borobudur-pun akhirnya dimulai. Oh ya, aku lupa memberitahu kalian. Selma yang saat itu baru saja kembali karena menginap di kos sepupunya aku paksa ikut dan akhirnya ikut dengan rombongan keluargaku menuju Magelang. Jadi, jangan bayangkan Selma ikut dengan rombongan kami dengan dandanan dan pakaian yang necis. Ia yang bahkan saat itu belum sempat mandi, saat sampau di Borobudur langsung menarikku kekamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan berdandan ala kadarnya. Untung saja saat itu aku juga membawa parfum. Jadi, setidaknya ia bisa meng-kamuflase bau badannya yang belum mandi kala itu.

Kami berdua menyegerakan diri untuk keluar dari kamar mandi seiring dengan dering Hpku yang terus berbunyi karena ditelpon oleh keluargaku yang sudah menunggu dan bersiap-siap masuk ke pelataran candi. Setelah mengurus segala tetek bengek yang harus diurus untuk masuk ke Candi rombonganku-pun masuk.

Saat itu, kami semua menyewa payung, satu payung untuk dua orang. Yah, perjalanan dari loket masuk ke Candi bisa terbilang lumayan jauh. Aku yang bahkan saat itu bersikeras untuk tidak menyewa payung akhirnya luluh juga oleh teriknya matahari di Borobudur. Perjalananpun berlanjut.

“Mbak, dari mana?” Tiba-tiba seorang ibu menyapaku dan Selma yang tengah berpose dibawah tangga menuju candi.
“Kalau aku Asli Lombok bu’, nah temenku ini dari Kudus.” Jawabku berusaha sopan.

“Oh, Jauh juga ya. Mbak kuliah di Jogja?” Tanyanya kembali.

“Iya bu, aku sama temenku ini kuliah di Jogja.”

“Dimana?”

“Universitas Mercu Buana bu. Oh iya, ibu ini dari mana?”

“Dari Solo mbak. Mbak-mbak kalau main ke Solo jangan lupa mampir ke rumah ibu ya.” Jawab ibu itu ramah.

“Le, ayo cepet. Kita ditinggal nih.” Selma tiba-tiba menarik lenganku.

“Iya, iya. Bu’ kita duluan ya?” Ujarku pada ibu itu. Ibu itu yang saat itu bahkan aku tidak tau namanya terlihat tidak rela ditinggal oleh kami berdua. Ia bahkan seperti berusaha mengejar kami.

“Mbak, anak saya ada yang seumuran mbak, cewek.” Ujar ibu itu lirih. Aku melihat anak lelakinya yang kala itu tengah berada disebelahnya.

“Oh, ini berarti adek punya kakak ya? Kelas berapa adek?” Obrolan kami berlanjut karena ibu itu mengejar kami.

“Ini masih SD mbak, kalau kakaknya ya seumuran mbak.” Jawabnya tergopoh-gopoh mengikuti gerakan kakiku yang agak cepat.

“Oh, emang anak ibu itu kuliah dimana?” Aku kembali bertanya.

“Anak saya sudah dipanggil Allah.” Ibu itu tersenyum, tetapi masih tampak kesedihan tersirat dari senyum yang ia berikan padaku saat itu. Aku hanya terdiam. Aku bingung kala itu harus berbicara apa padanya.

“Aduh, maaf Bu. Maaf, aku ‘gak tau.” Ujarku ketika tersadar. Ia hanya tersenyum.

“Ayo Le, cepetan. Kita udah ditinggal. Ayo lari.” Selma menarik lenganku dan mengajakku berlari meninggalkan ibu itu menuju Candi.
Setelah itu kamipun berpisah dari ibu itu. Hingga akhirnya, ketika didalam candi aku kembali bertemu dengan ibu itu. Ibu itu ternyata juga sadar akan kehadiran kami. Ia yang tengah bersama rombongannya melihat aku dan Selma naik menuju puncak Candi terlihat kembali mengejar kami.

“Ayo cepet, kita naik keatas.” Ku dengar ibu itu berkata pada anaknya.

Entah mengapa, aku saat itu ketakutan karena ibu itu terus mengejarku dan Selma.

“Eh Sel, kita lari aja yuk. Siapa tau nih sampai atas bisa kurus.” Ujarku tertawa sambil berlari keatas disusul Selma.

“Lale, udah deh. Capek tau’.”
“Ya udah, istirahat sini nih.” Kami berdua kemudian beristirahat dan berkeliling sejenak di puncak Candi Borobudur. Setelah puas, aku dan Selma kemudian turun dan bertemu kakakku serta sepupuku yang tengah berpose dibawah. Sejenak aku dan Selma mengikuti mereka berphoto-photo, kemudian turun. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Candi Prambanan. Aku-pun melupakan kejadian mengenai ibu itu.

Namun, entah mengapa, malam ini. Setelah mendengar lagu dari Sarasvati yang berjudul “perjalanan” aku kembali teringat akan ibu itu, yang bahkan aku tidak tahu namanya. Ia mungkin saat itu melihatku dan Selma yang mengingatkannya akan anaknya yang telah meninggal. Ia mungkin berusaha untuk mengobati kerinduannya kepada sang anak dengan mengobrol bersamaku. Tetapi, aku yang sudah ketakutan duluan malah menghindarinya.

Jujur saja, ketika mendengar lagu ini, aku merasa bersalah kepada ibu itu. Mengapa aku harus menghindar? Padahal ia tidak sama sekali melakukan kejahatan padaku. Ia hanya ingin mengobati rasa rindunya pada sang anak yang telah lama tiada.

Siapapun kamu, anak dari ibu itu yang aku tak kenal namanya, yang telah lebih dulu menghadap Allah. Semoga kamu senantiasa diampuni dosa dan diterima amal ibadahmu. Semoga ibumu selalu diberi ketegaran hati dengan kasih sayangnya yang seluas samudera.

Hal ini juga mengingatkanku kepada Mamakku dirumah. Hal ini mengajarkanku, bahkan ketika sang anak telah tiada. Kasih ibu akan selalu ada dan tidak akan hilang tergerus oleh tanah yang menguburkan anaknya. Kasih ibu, kasih ayah, kasih orangtua. Akan senantiasa mengiringi perjalanan sang anak entah itu dalam keadaan hidup ataupun mati.

Kasih ibu, kepada beta..

Tak terhingga sepanjang masa,

Hanya memberi, tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

Kepada Mamak dan Mamik, cinta dan sayangku kepada kalian tidak akan pernah hilang. Tidak akan pernah berkurang sedikitpun layaknya cinta kalian kepada aku dan mbok kiki.

Kepada kakakku, Mbok Kiki. Walaupun aku tak pernah mengungkapkannya, percayalah. Adikmu ini, selalu mencintai dan menyayangimu. Walaupun kita jarang akur disaat bersama, tapi percayalah itu karena aku sangat rindu padamu ketika kita jauh.

Teruntuk keluargaku, aku menyayangi kalian selamanya.

No comments:

Post a Comment