Sunday, October 12, 2014

Sisi Lainku



Yeh.. yeh.. yeh.. kali ini, dengan tiada lelah dan tiada henti aku kembali lagi untuk menceritakan curhatan gaje alias ‘gak jelas ala kiza. Kali ini aku ingin bercerita tentang ketidak percaya dirianku. Mungkin, orang-orang yang berada disekitarku akan berkata, “My god. Seorang Rizka ‘gak pede? Ada gitu orang yang petakilannya super duper kaya gini ‘gak pede. Please close my ear.” Sedikit berlebihan mungkin membayangkan kata-kata itu akan muncul. Tapi, aku yakin. Dari sekian ribu penggemarku dimuka bumi ini pasti sekitar 45% mengatakan aku kalem (yang ini bikin ngakak sumpah. Hahaha).

Oke, kembali lagi ke topik semula. Mungkin, begitu banyak orang yang melihatku dengan keceriaan dan tingkat ke-pede-an yang tiada tara. Tapi, apa mereka tau bagaimana dan apa yang sedang dirasakan hati ini? Kau tau? Hati ini serasa bergejolak menahan kesedihan. Menahan setiap tatapan mengerikan yang menghujam, memanas dan meleleh (oke. Mode sok puitis gagal!).

Satu hal yang harus kalian semua ketahui. Tidak semua yang tampak didepan mata adalah nyata. Bisa saja seseorang yang kalian selalu lihat ceria dan penuh rasa percaya diri hanya memakai topeng. Ya, topeng untuk mengelabui orang lain dan dirinya. Hal ini akan otomatis kalian pelajari dengan seiring bertambahnya usia. Semua orang mempunyai topeng. Itu yang aku liat. Sebenarnya termasuk aku. Aku kadang merasa terlalu takut untuk memperlihatkan bahwa sebenarnya aku rapuh. Aku terlalu gampang untuk dipatahkan dan dihancurkan.

Jujur saja, aku adalah tipikal orang yang tidak percaya diri akan apa yang aku miliki. Wajah, postur tubuh. Semua yang ada pada diriku membuatku merasa kurang percaya diri. Aku kadang merasa takut akan apa yang aku tengah genggam akan begitu saja diambil oleh oranglain karena ketidak berdayaanku ini. Bahkan, terkadang aku sering bertanya pada diriku sendiri, “apa yang dapat aku banggakan dari diriku yang tidak punya apa-apa ini?”. Berbekal wajah yang pas-pasan dan postur tubuh yang bongsor, serta ketidak mampuan untuk berdandan cantik seperti wanita lainnya. Apa sih yang patut aku banggakan dari diri ini? Bahkan, mungkin pacarku saja malu mengakui aku sebagai pacarnya. Entahlah, mungkin aku terlalu mengucilkan diriku sendiri. Tapi, jujur saja. Memang itulah yang seringkali aku rasakan.

“Rizka, apa yang paling kamu banggain dari dirimu sendiri?” Tanya mas Steve suatu waktu padaku.

“Suaraku.” Hanya itu jawaban yang aku berikan saat itu.

“Cuma itu? Wajah? Kepintaran?” Ia seolah meyakinkanku bahwa ada hal lain yang lebih dari itu, yang patut untuk aku banggakan.

“Gak ada. Cuma suara. Soalnya, karena suaraku aku dapat duit.” Jawabku.

“dulu..” aku menambahkan.

Yah, satu-satunya yang paling aku banggakan adalah suaraku yang memiliki daya jual. Rata-rata orang yang berbicara padaku selalu mengatakan, “Suaramu bagus ya. Serak-serak basah gitu. Lembut. Bikin jadi kerasan dengerinnya.” Pujian itu yang seringkali membuatku merasa sedikit bahagia dan memiliki satu hal untuk dibanggakan. Dulu, ketika aku masih SMA aku bahkan seringkali diminta untuk mengisi acara diberbagai acara sekolah yang membutuhkan seorang MC. Ya, selain suaraku yang bisa dibilang lumayan enak untuk didengar kemampuanku berbicara didepan umum juga membuat orang-orang mempercayaiku untuk mengisi acara sebagai MC dibeberapa acara diluar maupun didalam sekolah. Aku juga kadang membantu untuk mengisi acara disebuah stasiun tv lokal di Lombok. Tetapi, setiap akan perform selalu saja rasa tidak percaya diriku datang dan memaksaku untuk berpikir, “bisa gak sih, ini acaranya diundur aja? Dibatalin aja deh.”

“Eh, tapi.. ini acara udah didepan mata. Aku harus bisa. Aku harus bisa. Ntar juga biasa kaya sebelum-sebelumnya.” Kata-kata ini yang mampu menguatkanku dan berani tampil dikhalayak ramai meskipun aku bahkan belum pernah mengisi acara seperti itu. Seperti halnya, aku pertama kali mengisi acara sebagai MC untuk acara pernikahan.

“Aduh. Mati nih. Aku gak ngerti harus ngomong apa. Gimana nih. Rusak deh kawinan orang. Bisa dibenci seumur hidup nih aku.” Hal itu yang komat-kamit aku ucapkan pada diriku sendiri saat itu. Tetapi, begitu melihat satu persatu tamu undangan yang hadir aku bertekad untuk bisa melewati acara ini dengan baik. Aku yang selalu bingung mengucapkan apa akhirnya berinisiatif untuk menulis kata-kata sambutan bagi tamu di note handphone nokia jadul kesayanganku. Ajaib. Itu berhasil.

“Makasih ya dek. Suaramu bagus.” Ujar si mempelai pria, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sepupuku sendiri yang juga merupakan guruku di SMA.

“Iya kak. Tapi, maaf ya kalau acaranya malah jadi berantakan karena aku ngomongnya gak jelas, abisan tadi grogi. Ini baru pertama kali nge-mc nikahan.” Jawabku jujur.

“Wah, gak kok dek. Malah tadi kamu nge-mcnya gak kaya yang baru tuh. Acaranya lancar banget. Hehehe.”

“Yaudah kak. Syukur deh kalau acaranya lancar dan aku gak malu-maluin.” Jawabku.

Aku memang selalu meminta pendapat dari orang lain setiap aku baru selesai tampil. Hal ini aku lakukan untuk mengukur sejauh mana pendengarku mengetahui ke-grogian dan rasa tidak percaya diriku diatas panggung. Dan, binggo!! Syukurnya setiap aku diatas panggung orang yang aku mintai pendapat tidak melihat adanya rasa tidak percaya diri dan grogi dari penampilanku. Justru yang mereka lihat adalah sifat pecicilanku yang semakin melekat erat padaku saat tengah tampil membawakan sebuah acara.

Dengan sikapku yang ada diatas panggung dan yang selalu aku tunjukkan dihadapan orang banyak, tentu saja yang kebanyakan oranglain liat adalah aku yang ceria dan tidak tau diri. Hal itu aku lakukan untuk menutupi ketidak percayaan diriku akan diriku yang penuh kekurangan ini.
Lalu, menurut kalian apa yang patut aku banggakan dari diriku? Aku juga terkadang merasa, pacarku sendiri malu mengakuiku. Dikampus dia sama sekali tidak pernah menyapaku jika aku tidak menyapanya duluan. Iya memang tipikal lelaki yang cuek. Tetapi, apa lelaki cuek memang begitu? Bahkan saat bersama teman-temannya ketika melihatku, ia hanya akan diam saja. Ia baru akan menyapaku jika ia sendiri. Itupun jarang. Hal itu tentu saja membuatku merasa malu sendiri. Merasa sebagai seorang wanita yang bahkan oleh pacar sendiri, orang yang aku kira akan sedikit menganggapku ada, malu untuk diakui keberadaannya. Jadi apa yang patut aku banggakan dari diriku ini? :(

Saturday, October 11, 2014

Daging kurban oh.. daging kurban (Battle of aa’ burjo vs anak kos)



Tau daging kurban kan? Yupzt, hal satu ini pastinya udah familiar banget ditelinga orang banyak. Dimana daging kurban selalu dikaitkan dengan idul adha. Yah, memang setiap idul adha yang paling dinanti-nanti adalah daging kurban itu sendiri. Terutama oleh anak kos (termasuk aku, hehehe). Tapi, gimana jadinya jika ternyata malah daging kurban yang seharusnya dikasi ke kamu malah dikasi ke oranglain? Kurang ajar kan?
Siapa lagi coba tersangka utama selain aa’ burjo dikos hijau tercinta. Bukan tanpa alasan aku berkata seperti ini. Ini adalah kesaksian tukang sate langgananku yang mendengar curhat dari anak kos eksklusif sebelah yang ternyata malah kebagian daging kurban yang seharusnya milik kami. Milik anak kos hijau. Entah, apa motif aa’ burjo, si botak menyebalkan itu.
Ini bukan sekali dua kali dia melakukan hal yang sangat menyebalkan bagi kami, anak kos garudawati tentunya. Hal itu yang membuat kami kesal kepadanya. Contoh saja, beberapa minggu yang lalu ia bahkan dengan terang-terangan mengancam kami. Sebenarnya sasaran utamanya Yoka. Tetapi, entah mengapa sepertinya ia ingin sekali satu kosan tau mengenai ancamannya itu sehingga ia menyatakan ancamannya melalui aku dan Selma.
“Mbak, bilangin ya ke mbak Yoka. Kalau ‘gak mau aku laporin yang macam-macam ke bapak kos, ya belanja di aku. Kalau ‘gak ya maaf-maaf aja aku laporin ke bapak kos.” Ancam aa’ burjo beberapa minggu yang lalu. Akhirnya Yoka yang seringkali diapeli pacarnya siang hari itu memilih untuk mengibarkan bendera putih agar proses apel-mengapeli oleh pacarnya menjadi lebih nyaman. Hal ini terjadi sebelum idul Adha. Tentu saja dengan dikibarkannya bendera tanda perdamaian oleh Yoka kami menganggap bahwa sikap aa’ burjo terhadap kami akan jauh lebih manis. Tapi nyatanya?
Idul Adha tahun ini, dikos hanya ada aku, Selma, Yoka dan Desa. Kami yang merupakan anak rantau sejati alias berasal dari daerah yang jauh jika memang harus pulang kampung, memutuskan untuk ber-idul adha di Jogja saja kali ini. Sedangkan yang lainnya memutuskan untuk pulang kampung karena berasal dari Klaten. Kota tetangga Jogja yang dapat ditempuh dengan perjalanan sekitar 1-11/2 jam dari Jogja.
Jujur saja, saat itu kami agak mengharapkan akan mendapatkan daging kurban. Semalam sebelumnya bahkan kami sudah menyusun rencana akan mengadakan masak-masak. Tetapi, rupanya hari itu kami sama sekali tidak mendapatkan apapun. Akhirnya kami hanya dapat gigit jari.
Hingga akhirnya, malam ini. Aku dan Yoka yang tengah kelaparan memutuskan untuk mencari sate langganan kami yang biasa berkeliling dikompleks sekitar kos. Setelah berjuang bolak balik mencari tukang sate yang tak kunjung jumpa (mulai deh lebaynya -_-), akhirnya kami bertemu dengan cak’ad tukang sate langgananku itu.
“Mas, satenya dua porsi ya.” Ujarku.
“Oke mbak.”
“Be de wey mbak. Kemaren idul adha dapat sate gak?” Tanya cak’ad.
“Gak mas. Sebenernya sih rada ngarep gitu mas, tapi ya mau gimana? Kita kan gak dapat jatah.” Jawabku sekenanya.
“Loh, masa sih mbak? Itu berarti dagingnya di tilep bos burjo dong.” Balasnya.
“Hah, bos burjo siapa?” Kali ini Yoka ikut penasaran.
“Ya, itu. A’ burjo didepan kosmu. Kemarin, aku diceritain anak kos tingkat dekat kosmu itu loh mbak. Katanya dikasi daging kurban sama bos burjo. Masa iya, mbak-mbak yang tinggal satu tempat sama bos burjo gak dapat.” Celotehnya.
“Masa sih mas? Ini serius? Kita sama sekali gak dapat apa-apa loh mas.” Aku nimbrung.
“Iya mas, orang waktu itu aja kita sampai bingung. Masa iya, kompleks segede ini gak ngasi daging buat anak kos kaya kita. Ya, kita sih gak ngarep mas. Tapi kan jadinya kaya gitu ya dia gak amanah mas.” Yoka tampak sedikit emosi berbarengan dengan sudah tersedianya sate yang kami pesan.
“Yaudah sih mas, kalau dia kaya gitu sama kita mah kita Cuma bisa sabar aja. Berapa nih?” Ujarku, sembari menanyakan berapa yang harus kami bayarkan.
“Bener mbaknya sih, yang sabar aja. Nanti juga dia dapat balasan mbak. Dua puluh ribu.”
Setelah membayar sate yang tadi kami pesan, kamipun kembali kekos. Diperjalanan, Yoka yang sudah menahan-nahan emosi akhirnya menumpahkan emosinya juga.
“Emang kurang ajar nih a’ burjo. Sialan. Jatah kita malah dikasi ke orang. Maunya apa sih? Udah aku baik-baikin malah begitu.” Ujar Yoka dengan penuh emosi.
“Ini aku udah nahan-nahan dari tadi rizka.”
“Iya juga sih Yok. Emang kurang ajar nih a’ burjo. Kampret juga. Udah, biarin aja. Kita doain semoga dagangannya gak laku.” Ujarku yang juga emosi. Sepanjang perjalanan kembali kekos kami habiskan dengan mengatai burjo yang sudah tercap buruk dimata kami.
Yah, beginilah kisah idul adha-ku yang ternyata penuh dengan kecurangan. Bagaimana idul adha kalian? Apakah lebih aneh dari idul adha-ku kali ini?