Saturday, October 11, 2014

Daging kurban oh.. daging kurban (Battle of aa’ burjo vs anak kos)



Tau daging kurban kan? Yupzt, hal satu ini pastinya udah familiar banget ditelinga orang banyak. Dimana daging kurban selalu dikaitkan dengan idul adha. Yah, memang setiap idul adha yang paling dinanti-nanti adalah daging kurban itu sendiri. Terutama oleh anak kos (termasuk aku, hehehe). Tapi, gimana jadinya jika ternyata malah daging kurban yang seharusnya dikasi ke kamu malah dikasi ke oranglain? Kurang ajar kan?
Siapa lagi coba tersangka utama selain aa’ burjo dikos hijau tercinta. Bukan tanpa alasan aku berkata seperti ini. Ini adalah kesaksian tukang sate langgananku yang mendengar curhat dari anak kos eksklusif sebelah yang ternyata malah kebagian daging kurban yang seharusnya milik kami. Milik anak kos hijau. Entah, apa motif aa’ burjo, si botak menyebalkan itu.
Ini bukan sekali dua kali dia melakukan hal yang sangat menyebalkan bagi kami, anak kos garudawati tentunya. Hal itu yang membuat kami kesal kepadanya. Contoh saja, beberapa minggu yang lalu ia bahkan dengan terang-terangan mengancam kami. Sebenarnya sasaran utamanya Yoka. Tetapi, entah mengapa sepertinya ia ingin sekali satu kosan tau mengenai ancamannya itu sehingga ia menyatakan ancamannya melalui aku dan Selma.
“Mbak, bilangin ya ke mbak Yoka. Kalau ‘gak mau aku laporin yang macam-macam ke bapak kos, ya belanja di aku. Kalau ‘gak ya maaf-maaf aja aku laporin ke bapak kos.” Ancam aa’ burjo beberapa minggu yang lalu. Akhirnya Yoka yang seringkali diapeli pacarnya siang hari itu memilih untuk mengibarkan bendera putih agar proses apel-mengapeli oleh pacarnya menjadi lebih nyaman. Hal ini terjadi sebelum idul Adha. Tentu saja dengan dikibarkannya bendera tanda perdamaian oleh Yoka kami menganggap bahwa sikap aa’ burjo terhadap kami akan jauh lebih manis. Tapi nyatanya?
Idul Adha tahun ini, dikos hanya ada aku, Selma, Yoka dan Desa. Kami yang merupakan anak rantau sejati alias berasal dari daerah yang jauh jika memang harus pulang kampung, memutuskan untuk ber-idul adha di Jogja saja kali ini. Sedangkan yang lainnya memutuskan untuk pulang kampung karena berasal dari Klaten. Kota tetangga Jogja yang dapat ditempuh dengan perjalanan sekitar 1-11/2 jam dari Jogja.
Jujur saja, saat itu kami agak mengharapkan akan mendapatkan daging kurban. Semalam sebelumnya bahkan kami sudah menyusun rencana akan mengadakan masak-masak. Tetapi, rupanya hari itu kami sama sekali tidak mendapatkan apapun. Akhirnya kami hanya dapat gigit jari.
Hingga akhirnya, malam ini. Aku dan Yoka yang tengah kelaparan memutuskan untuk mencari sate langganan kami yang biasa berkeliling dikompleks sekitar kos. Setelah berjuang bolak balik mencari tukang sate yang tak kunjung jumpa (mulai deh lebaynya -_-), akhirnya kami bertemu dengan cak’ad tukang sate langgananku itu.
“Mas, satenya dua porsi ya.” Ujarku.
“Oke mbak.”
“Be de wey mbak. Kemaren idul adha dapat sate gak?” Tanya cak’ad.
“Gak mas. Sebenernya sih rada ngarep gitu mas, tapi ya mau gimana? Kita kan gak dapat jatah.” Jawabku sekenanya.
“Loh, masa sih mbak? Itu berarti dagingnya di tilep bos burjo dong.” Balasnya.
“Hah, bos burjo siapa?” Kali ini Yoka ikut penasaran.
“Ya, itu. A’ burjo didepan kosmu. Kemarin, aku diceritain anak kos tingkat dekat kosmu itu loh mbak. Katanya dikasi daging kurban sama bos burjo. Masa iya, mbak-mbak yang tinggal satu tempat sama bos burjo gak dapat.” Celotehnya.
“Masa sih mas? Ini serius? Kita sama sekali gak dapat apa-apa loh mas.” Aku nimbrung.
“Iya mas, orang waktu itu aja kita sampai bingung. Masa iya, kompleks segede ini gak ngasi daging buat anak kos kaya kita. Ya, kita sih gak ngarep mas. Tapi kan jadinya kaya gitu ya dia gak amanah mas.” Yoka tampak sedikit emosi berbarengan dengan sudah tersedianya sate yang kami pesan.
“Yaudah sih mas, kalau dia kaya gitu sama kita mah kita Cuma bisa sabar aja. Berapa nih?” Ujarku, sembari menanyakan berapa yang harus kami bayarkan.
“Bener mbaknya sih, yang sabar aja. Nanti juga dia dapat balasan mbak. Dua puluh ribu.”
Setelah membayar sate yang tadi kami pesan, kamipun kembali kekos. Diperjalanan, Yoka yang sudah menahan-nahan emosi akhirnya menumpahkan emosinya juga.
“Emang kurang ajar nih a’ burjo. Sialan. Jatah kita malah dikasi ke orang. Maunya apa sih? Udah aku baik-baikin malah begitu.” Ujar Yoka dengan penuh emosi.
“Ini aku udah nahan-nahan dari tadi rizka.”
“Iya juga sih Yok. Emang kurang ajar nih a’ burjo. Kampret juga. Udah, biarin aja. Kita doain semoga dagangannya gak laku.” Ujarku yang juga emosi. Sepanjang perjalanan kembali kekos kami habiskan dengan mengatai burjo yang sudah tercap buruk dimata kami.
Yah, beginilah kisah idul adha-ku yang ternyata penuh dengan kecurangan. Bagaimana idul adha kalian? Apakah lebih aneh dari idul adha-ku kali ini?

No comments:

Post a Comment